DONASI VIA PAYPAL Bantu berikan donasi jika dirasa blog ini bermanfaat. Donasi akan digunakan untuk membeli domain www.bijehdesign.com. Terima kasih :)

Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrik Jalan

Dalam merencanakan suatu jalan raya diinginkan pekerjaan yang relatif mudah dengan menghindari pekerjaan galian (cut) dan timbunan (fill) yang besar. Dilain pihak kendaraan yang beroperasi di jalan raya menginginkan jalan yang relatif lurus, tidak ada tanjakan atau turunan. Objek keinginan itu sulit kita jumpai mengingat keadaan permukaan bumi yang relatif tidak datar.
    Faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan raya adalah:
  1. Kelas Jalan
  2. Kecepatan Rencana 
  3. Alinyemen Horizontal
  4. Alinyemen Vertikal 
  5. Jarak Pandangan
  6. Penampang Melintang 
  7. Perhitungan Kubikasi 

1. Kelas Jalan
Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penempatannya didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan.

2. Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana yang dimaksud adalah kecepatan maksimum yang diizinkan pada jalan yang akan direncanakan sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi pemakai jalan tersebut. Dalam hal ini harus disesuaikan dengan tipe jalan yang direncanakan.

Adapun pengaruh keadaan medan terhadap perencanaan suatu jalan raya meliputi hal-hal sebagai berikut :
  •  Tikungan : Jari-jari tikungan pada pelebaran perkerasan diambil sedemikian rupa sehingga terjamin keamanan dan kenyamanan jalannya kendaraan dan pandangan bebas harus cukup luas.
  • Tanjakan : Dalam perencanaan diusahakan agar tanjakan dibuat dengan kelandaian sekecil mungkin. 

3. Alinyemen Horizontal
Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus pada bidang peta alinyemen (garis tujuan). Horizontal merupakan trase jalan yang terdiri dari garis lurus (tangen) yang merupakan bagian lurus dan lengkung horizontal yang disebut tikungan.

Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horizontal adalah bagian tikungan, dimana terdapat gaya yang dapat melemparkan kendaraan ke luar daerah tikungan yang disebut gaya sentrifugal. Atas dasar itu maka perencanaan tikungan diusahakan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan, sehingga perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

a. Jari-jari lengkung minimum
Untuk setiap kecapatan rencana ditentukan berdasarkan miring maksimum dengan koefisien gesekan melintang maksimum.

b. Lengkung peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung pada tikungan yang dipergunakan untuk mengadakan peralihan dari bagian lurus ke bagian lengkung atau sebaliknya.

c. Pelebaran perkerasan
Pada tikungan sangat bergantung pada :

R = Jari-jari tikungan
β = Sudut tikungan
Vr = Kecepatan rencana

Rumus yang digunakan adalah rumus yang dikutip dari “Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan (Silvia Sukirman) halaman 142 yaitu sebagai berikut:
dimana :

B = lebar perkerasan yang ditempati satu kendaraan di tikungan pada lajur sebelah dalam
Rc = radius lajur sebelah dalam - ½ lebar perkerasan + ½ b
b = lebar kendaraan rencana
V = kecepatan, km/jam
dimana:

∆b = tambahan lebar perkerasan di tikungan
Bn = lebar total perkerasan pada bagian lurus

d. Jarak pandangan pada lengkung horizontal
Jarak pandangan pengemudi kendaraan yang bergerak pada lajur tepi sebelah dalam seringkali dihalangi oleh gedung-gedung, hutan-hutan kayu, tebing galian dan lain sebagainya. Demi menjaga keamanan pemakai jalan, panjang sepanjang jarak pandangan henti minimum harus terpenuhi di sepanjang lengkung horizontal. Dengan demikian terdapat batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam dengan penghalang (m).

Penentuan batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam ke penghalang ditentukan berdasarkan kondisi dimana jarak pandangan berada di dalam lengkung atau jarak pandangan < panjang lengkung horizontal. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat gambar di bawah ini.
Gambar Jarak Pandangan pada Lengkung Horizontal S ≤ L

Garis AB : Garis pandangan
Lengkung AB : Jarak pandangan
n TS - ST : Panjang busur lingkaran , m(L)
m : Ordinat tengah sumbu jalur ke penghalang
ѻ : Setengah sudut pusat busur lingkaran S (°)
S : jarak pandangan, m
L : panjang busur lingkaran, m
R’ : radius sumbu lajur sebelah dalam, m

3.1 Bentuk lengkung horizontal
Bentuk lengkung horizontal pada suatu jalan raya ditentukan oleh tiga faktor:
  1. Sudut tangent (∆) yang besarnya dapat diukur langsung pada peta
  2. Kecepatan rencana, tergantung dari kelas jalan yang akan direncanakan.
  3. Jari-jari kelengkungan, hubungan antara kecepatan rencana dengan jari-jari kelengkunganminimum dapat dilihat pada Tabel di bawah ini,
Tabel Hubungan antara Kecepatan Rencana dan Jari- jari Minimum.
Bentuk-bentuk lengkung horizontal ada tiga macam yaitu: 

a. Bentuk tikungan Full Circle (FC) 
Bentuk ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar dan sudut tangent yang relatif kecil. Batas yang diambil untuk bentuk circle adalah sebagai berikut:

Rumusan yang digunakan untuk bentuk full circle dalam menentukan harga-harga T, L dan Es.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar di bawah ini:
Gambar Bentuk Tikungan Full Circle (F-C): 
Dimana:
R = Jari-jari lengkung minimum (m)
∆ = Sudut tangent yang diukur dari gambar trase.
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
L = Panjang bagian tikungan (m)
T = Jarak antara TC dan PI (m)

b. Bentuk tikungan Spiral Circle Spiral (S-C-S)
Rumus yang digunakan :
Besar Sudut Spiral :
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar dibawah :
Gambar Bentuk Tikungan Spiral Circle Spiral (S-C-S)

c. Bentuk tikungan Spiral – Spiral (S-S)
Rumus yang digunakan : Besar Sudut Spiral :
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar di bawah ini:
Gambar Bentuk Tikungan Spiral Spiral (S-S)

4. Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal adalah bidang tegak yang melalui sumbu jalan atau proyeksi tegak lurus bidang gambar. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh (dimana truck digunakan sebagi kendaraan standar), alinyemen vertikal sangat erat hubungannya dengan besar biaya pembangunan, biaya penggunaan, maka pada alinyemen vertikal yang merupakan bagian kritis justru pada bagian yang lurus. Landai maksimum yang dipakai pada perencanaan ini adalah sebesar 10 % dan panjang kritis sebesar 120 meter.

Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus (tangen) adalah:
  1. Lengkung vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di bawah permukaan jalan.
  2. Lengkung vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.

 Persamaan-persamaan lengkung vertikal yang digunakan adalah:

A = g1 –  g2                                                                                                        . . . . . . . . (2.30)

dimana: 
A = perbedaan aljabar kelandaian (selisih % kelandaian antara dua lintasan pada pertemuan lengkung
g1 dan g2 = besarnya kelandaian bagian tangen, kelandaian (g1 dan g2) diberi tanda positif jika pendakian, dan diberi tanda negatif jika terjadi penurunan, yang ditinjau dari kiri.
dimana:
Ev = pergeseran vertikal dari titik PPV ke bagian lengkung
Lv = panjang lengkung vertikal sama dengan panjang proyeksi lengkung pada bidang horizontal.

4.1 Landai minimum
Berdasarkan kepentingan arus lalu-lintas, landai ideal adalah landai datar (0 %). Sebaliknya ditinjau dari kepentingan drainase jalan, jalan berlandailah yang ideal.
Dalam perencanaan disarankan menggunakan:

  1. Landai datar untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan yang tidak mempunyai kereb.
  2. Landai 0,15 % dianjurkan untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan dengan medan datar dan mempergunakan kereb.
  3. Landai minimum sebesar 0,13 % - 0,5 % dianjurkan dipergunakan untuk jalan-jalan di daerah galian atau jalan yang memakai kereb. 

4.2 Landai maksimum
Kelandaian 3 % mulai memberikan pengaruh kepada gerak kendaraan mobil penumpang, walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan gerakan kendaraan truk yang terbebani penuh. Pengaruh dari adanya kelandaian ini dapat terlihat dari berkurangnya kecepatan jalan kendaraan atau mulai dipergunakan gigi rendah. Kelandaian tertentu masih dapat diterima jika kelandaian tersebut mengakibatkan kecepatan jalan tetap lebih besar dari setengah kecepatan rencana. Untuk membatasi pengaruh perlambatan kendaraan truk terhadap arus lalu-lintas, maka ditetapkan landai maksimum untuk kecepatan rencana tertentu. Bina Marga menetapkan kelandaian maksimum seperti pada Tabel, yang dibedakan atas kelandaian maksimum standard dan kelandaian mkasimum mutlak. Jika tidak terbatasi oleh kondisi keuangan, maka sebaiknya dipergunakan kelandaian standar AASHTO yang membatasi kelandaian maksimum berdasrkan keadaan medan apakah datar, perbukitan atau pegunungan.

Tabel Kelandaian Maksimum Jalan
Sumber : Sukirman (1999:156)
4.3 Jarak pandangan lengkung vertikal
Pada lengkung vertikal, pembatasan berdasarkan jarak pandangan dapat dibedakan atas 2 keadaan yaitu :
  1. Jarak pandangan berada seluruhnya dalam daerah lengkung (S < L)
  2. Jarak pandangan berada di luar dan di dalam daerah lengkung (S > L)
Jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan henti menurut Bina Marga, 
h1 = 10 cm = 0,1 m
h2 = 120 cm = 1,2 m
Dan jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandangan menyiap menurut Bina Marga, 
h1 = 120 cm = 1,2 m
h2 = 120 cm = 1,2 m 

Jadi, jarak pandangan pada vertikal adalah :

5. Jarak Pandangan
Kemungkinan untuk melihat kedepan adalah faktor dalam suatu operasi di jalan agar tercapai keadaan yang aman dan efisien, untuk itu harus diadakan jarak pandang yang cukup panjang sehingga pengemudi dapat memilih kecepatan dari kendaraan dan tidak menghambat barang tak terduga diatas jalan. Demikian pula untuk jalan dua jalur yang memungkinkan pengendara berjalan diatas jalur berlawanan untuk menyiap kendaraan dengan aman. Jarak pandangan ini untuk keperluan perencanaan dibedakan atas:

5.1 Jarak pandangan henti minimum
Jarak ini minimum harus dipenuhi oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang sedang berjalan setelah melihat adanya rintangan di depannya.

Jarak ini merupakan jumlah dua jarak dari : 

1. Jarak yang ditempuh dari saat melihat benda sampai mengijak rem adalah d1,

d1= kecepatan waktu
d1= V t . . . . . . . . (2.33)

dimana:
d1 = Jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak pedal rem (m)
V = Kecepatan (km/jam)
t = Waktu reaksi (waktu PIEV + waktu yang dibutuhkan untuk menginjak rem) = 1,5 detik + 1 detik = 2,5 detik
maka,

d1= 0,278 V t . . . . . . . . (2.34)

2. Jarak untuk berhenti setelah mengijak rem adalah d2,

Pada jalan-jalan berlandai terdapat harga berat kendaraan sejajar permukaan jalan, yang memberikan pengaruh cukup berarti pada penentuan jarak mengerem. Pada jalan-jalan menurun jarak mengerem akan bertambah panjang, sedangkan untuk jalan-jalan mendaki jarak mengerem akan bertambah pendek. Dengan demikian persamaan di atas akan menjadi :
dimana :

L = besarnya landai jalan dalam desimal
+ = untuk pendakian
- = untuk penurunan

5.2 Jarak pandangan menyiap

Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan untuk menyusul kendaraan lain yang dipergunakan hanya pada jalan 2 jalur. Besarnya jarak pandang menyiap minimum dapat dilihat dalam daftar II PPGRJ No. 13/1970.

Jarak pandang diukur dari ketinggian mata pengemudi kepuncak penghalang. Untuk jarak pandang henti ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan ketinggian penghalang adalah 10 cm, sedang untuk jarak pandang menyiap ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan ketinggian penhalang 125 cm.

Jarak pandang menyiap standar untuk jalan dua lajur dua arah dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
d1 = jarak yang ditempuh kendaraan yang hendak menyiap selama waktu reaksi dan waktu membawa kendaraanya yang hendak membelok ke lajur kanan. 

t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung dari kecepatan yang dapat ditentukan dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V 

m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap = 15 km/jam 

V = kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dalam perhitungan dapat dianggap sama dengan kecepatan rencana, km/jam 

a = percepatan rata-rata besarnya tergantung dari kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi a = 2,052 + 0,0036 V

d2 = 0,278 V t2 . . . . . . . . (2.42)

dimana:
d2 = jarak yang ditempuh selama kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan
t2 = waktu dimana kendaa yang menyiap berada pada lajur kanan yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi t2 = 6,56 + 0,048 V
d3 = diambil 30 – 100 meter
d4 = 2/3 d2 . . . . . . . . (2.43)

2.6 Penampang Melintang
Penampang melintang jalan adalah pemotongan suatu jalan tegak lurus sumbu jalan, yang menunjukkan bentuk serta susunan bagian-bagian jalan dalam arah melintang.

Penampang melintang jalan yang digunakan harus sesuai dengan kelas jalan dan kebutuhan lalu lintas yang dilayaninya. Penampang melintang utama dapat dilihat pada daftar I PPGJR.

6.1 Lebar perkerasan

Pada umumnya lebar perkerasan ditentukan berdasarkan lebar jalur lalu lintas normal yang besarnya adalah 3,5 meter sebagaimana tercantum dalam daftar I PPGJR, kecuali:
  • Jalan penghubung dan jalan kelas II c = 3,00 meter
  • Jalan utama = 3,75 meter
6.2 Lebar bahu
Untuk jalan kelas III lebar bahu jalan minimum adalah 1,50 – 2,50 m untuk semua jenis medan.

6.3 Drainase
Drainase merupakan bagian yang sangat penting pada suatu jalan, seperti saluran tepi, saluran melintang, dan sebagainya, harus direncanakan berdasarkan data hidrologis setempat seperti intensitas hujan, lamanya frekuensi hujan, serta sifat daerah aliran.

6.4 Kebebasan pada jalan raya
Kebebasan yang dimaksud adalah keleluasaan pengemudi di jalan raya dengan tidak menghadapi rintangan. Lebar kebebasan ini merupakan bagian kiri kanan jalan yang merupakan bagian dari jalan (PPGJR No. 13/1970).

2.7 Perhitungan Kubikasi
Perhitungan kubikasi ditentukan dengan menggunakan rumus, yaitu: 

V = Luas tampang galian/timbunan panjang galian timbunan

Hasil perkalian harus disesuaikan apakah dia bentuk kubus, kerucut dan sebagainya. untuk itu perlu dicari panjang galian/timbunan.

1. Anonim, 1970, Peraturan Perencanaan geometrik Jalan Raya, Direktorat Jenderal Bina Marga. 
2. R.A. Bukhari, Maimunah., 2005, Perencanaan Trase jalan Raya, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 
3. Sukirman, S., 1999, Dasar-dasar Perencanaan Geometrik Jalan, Penerbit Nova, Bandung.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrik Jalan"

Post a Comment

Komentarlah dengan bahasa yang baik :

1. No SARA
2. No SPAM