Kerajaan Aceh Darussalam
Friday
aceh,
aceh history,
history,
indonesia history,
iskandar muda,
iskandar tsani,
kerajaan aceh,
kerajaan aceh darussalam,
nuruddin ar-Raniri,
portugis,
sejarah,
sultan alauddin ri'ayat,
sultan iskandar muda
Sebenarnya tatkala orang-orang Portugis mulai menginjakkan kaki di Malaka awal abad ke-16, Aceh masih merupakan kerajaan takhlukan kerajaan Pedie, yang terletak di Sumatera Utara , akan tetapi berkat jasa Sultan Ali Mughiyat Syah Aceh akhirnya mampu melepaskan diri dari pengaruh Pedie dan menjadi kerajaan yang berdaulat penuh², dan bahkan pada babak berikutnya Acehlah yang kemudian menjadi sentral kekuasaan di wilayah Sumatera Utara tersebut: Pasai, Daya termasuk pula Pedie yang dulunya menjadi kerajaan atasan Aceh.
Di bawah kepemimpinannya, Aceh terus melaju ke arah sukses yang semakin gemilang; baik dibidang konsolidasi politik, ekonomi atau ekspansi (perluasan wilayah). Dalam menjalankan ekspansinya, disamping bermotifkan politis, ekonomi juga tidak bisa dipungkiri adanya motif agama. Hal ini dapat dilihat ketika kerajaan yang baru keluar dari embrionya itu mengadakan penyerbuan ke Pedie vang telah bekerja sama dengan Portugis (non-Muslim).³
Sepeninggal Sultan Ali Mughiyat Syah, jalannya pemerintahan dilanjutkan oleh Sultan Alauddin Ri'ayat Syah. Pada masanya ekspansi terus dilaksanakan sebagaimana pendahulunya. Untuk meluaskan wilayahnya ke Barus ia mengutus suami saudara perempuannya yang kemudian oleh Sultan diangkat sebagai Sultan Barus.
Setelah Sultan Alauddin Ri'ayat meninggal dunia, ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Husein. Padahal sebelumnya dua orang putranya yang lain masing-masing telah diangkat sebagai Sultan Aru dan Sultan Pariaman dengan sebutan Sultan Ghari dan Sultan Mughal sehingga tampilnya Sultan Husein menggantikan ayahnya itu menimbulkan rasa cemburu dan tidak suka saudara-saudaranya yang berkedudukan di Aru ataupun di Pariaman. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Sultan yang berkedudukan di Barus.⁴
Sebagai akibatnya maka terjadilah perlawanan dan ketiga Sultan tersebut terhadap Sultan Husein. Dalam pertempuran itu Sultan Husein gugur, demikian pula Sultan Aru. Sehingga yang tinggal hanyalah Sultan Pariaman.
Setelah sekian lama Aceh Darussalam tampil di pentas kesejarahan Nasional dan setelah matang dengan berbagai ujian sejarah (secara alamiah) maka sampailah ia pada suatu masa yang membuat orang merasa silau memandangnya atau menaruh hormat oleh karenanya. Itulah masa keemasan; masa kejayaan yang merupakan buah perjuangan dari titian roda sejarah.Adalah Sultan Iskandar Muda yang telah menghantarkan Aceh Darussalam kebabak kegemilangannya sekaligus mengembalikan daerahdaerah yang telah melepaskan diri dari pengaruh Aceh akibat pertikaian antar pewaris tahta sepeninggal Sultan Alauddin Ri'ayat Syah di akhir abad ke-16 Masehi serta adanya serangan Portugis yang berkedudukan di Malaka.
Tampilnya Sultan Iskandar Muda (1607 - 1638 M.) menandai aktifhya kembali Aceh, terutama dalam usaha membendung penetrasi dan campur tangan pedagang asing. Dalam upaya ia menempuh jalan mempersulit dan memperketat perijinan bagi pedagang asing yang hendak mengadakan kontak dengan Aceh. Ia hanya memberi kesempatan salah satu nama yang lebih menguntungkan raja antara Inggris dan Belanda. Pernah ia memperkenankan kemudian Belanda untuk berdagang di Tiku, Pariaman dan Barus tetapi hanya berjalan masing-masing dua tahunan.
Dibukanya Bandar Aceh menjadi Pelabuhan Internasional merupakan langkahnya yang progresif dalam upaya memakmurkan perekonomian negeri, sebab dengan open sistem tersebut segala hasil kekayaan Aceh, terutama lada, bisa secara mudah memperoleh pasaran walaupun pada akhirnya menjadi bumerang bagi Aceh itu sendiri.
Di sisi lain kemajuan telah diperoleh oleh Aceh dalam bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan. B. Schiere dalam bukunya "Indonesian Sociological Studies" mengatakan : 'Aceh adalah pusat perdagangan Muslim India dan ahli fikirnya (kaum cendediawan dan ulama-ulama) berkumpul sehingga Aceh menjadi pusat kegiatan studi Islam.⁷
Kemunduran Aceh ini semakin terasa setelah Sultan Iskandar Tsani wafat dan digantikan isterinya, Sultanah Tajul Alam Syafituddin Syah, yang memerintah pada tahun 1641-1675. Roda pemerintahan yang dulu begitu kokoh kini nampak ringkih dan goyah. Wilayah Aceh yang meliputi daerah-daerah tidak dapat lagi dikuasai oleh Sultanah sehingga nampak seolah-olah tidak ada lagi kekuatan untuk mempertahankannya. Banyak daerah bawahan yang melepaskan diri dari kekuasaan Aceh. Demikiah halnya dalam masalah ekonomi yang kian terasa tidak stabil akibat ulah pedagang-pedagang asing yang kian terasa kuasanya dan sudah mulai menerapkan politik adu dombanya. Sementara situasi dalam negeri sudah nampak tidak sehat karena para kapitalis semakin meraja lela dalam penguasaan di bidang materi tanpa ambil peduli suasana perekonomian kerajaan yang sedang dilanda resesi berat.
Terpaksa Sultanah mengambil tindakan menjalin kerja sama dengan Belanda. Langkah ini dilakukan semata-mata untuk mempertahankan Aceh dari gilasan dan serbuan kaum Kolonialis sebagaimana yang terjadi di Malaka. Dasar niat untuk memonopoli sudah bersarang di hati Belanda semenjak mereka menginjakkan kakinya di bumi Nusantara ini, maka sikap Sultanah tersebut dijadikan suatu momentum untuk lebih menancapkan cengkeraman kuku imperialismenya. hal ini terbukti dengan berbagai fasilitas dan kesempatan yang diberikan kepada mereka. maka akhirnya Belanda mendirikan kantor Dagang mereka di Padang dan Salida. Walaupun tindakan Belanda itu telah diperingatkan oleh Sultanah, namun rupanya mereka sudah tidak menghiraukan.
Semenjak kematian Sultan Alauddin kemudian diganti oleh sultan-sultan berikutnya, Aceh mengalami kemunduran; banvak daerah yang tadinya berada dibawah pengaruhnya meiepaskan diri akibat kurang intensifnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh sultan-sultan pengganti Alauddin dan pengaruh penetrasi Portugis. Baru setelah Sultan Iskandar Muda tampil sebagai penguasa Aceh keadaan bisa pulih seperti sedia kala, bahkan lebih memperluas lagi daerah taklukannya.⁵
Masa Kejayaannya
Setelah sekian lama Aceh Darussalam tampil di pentas kesejarahan Nasional dan setelah matang dengan berbagai ujian sejarah (secara alamiah) maka sampailah ia pada suatu masa yang membuat orang merasa silau memandangnya atau menaruh hormat oleh karenanya. Itulah masa keemasan; masa kejayaan yang merupakan buah perjuangan dari titian roda sejarah.
Sultan Iskandar Muda, yang memerintah hampir 30 tahun lamanya,disamping telah berhasil menekan arus perdagangan yang dijalankan oleh orang Eropa juga telah mampu membenahi dan mengadakan konsulidasi di berbagai sektor; baik ekonomi, politik, sosial budaya dan kegidupan beragama.
Di bidang politik misalnya, ia telah behasil mempersatukan seluruh lapisan masyarakat, yang disebut dengan kaum; seperti kaum Lhoe Reotoih (kaum Tigaratus), kaum Tok Batee (orang-orang Asia), kaum orang Mante, Batak Karo, Arab, Persia dan Turki, kaum Ja sandang (orang-orang mindi) dan kaum Imam peucut (Imam Empat). Begitu pula pada masanya telah tersusun sebuah Undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Meukuta Alam; hukum adat ini didasarkan pada hukum Syara".⁶
Di sisi lain kemajuan telah diperoleh oleh Aceh dalam bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan. B. Schiere dalam bukunya "Indonesian Sociological Studies" mengatakan : 'Aceh adalah pusat perdagangan Muslim India dan ahli fikirnya (kaum cendediawan dan ulama-ulama) berkumpul sehingga Aceh menjadi pusat kegiatan studi Islam.⁷
Lembaga-lembaga kajian ilmiah tersebut terdiri atas :
- Balai Sertia Ulama' (jawatan pendidikan)
- Balai Jama'ah Himpunan Ulama' yang merupakan studi club yang beranggotakan para ahli agama.
- Balai Sertia Hukama' (Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan).
- Meunasah (Ibtidaiyah)
- Kangkang (Tsanawiyah), untuk tingkat ini belajarnya di masjid dan yang dipelajari adalah kitab-kitab Ilmu Hisab, Al-Qur'an, Ilmu Falaq, Fiqih dan Hadits.
- Dayah (Aliyah), tingkat ini berpusat di masjid-masjid besar.
- DayahTeuku Cik (Perguruan Tmggi), di sini diajarkan Tafsir, Tasauf dan lain sebagainya.⁸
Ilmu Tasauf (mistisisme) adalah salah satu kajian keagamaan yang mendapat perhatian oleh Pihak Sultan sehingga pada masanya tercatat banvak ahli sufi, diantaranva: Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani dan Nuruddin ar-Raniri. Untuk yang terakhir ini kurang mendapat simpati dari Sultan Iskandar Muda.
Dapat dibayangkan betapa gemilang Aceh Darussalam di masa keemasan yang dibimbing dan diarahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Ini merupakan suatu indikasi betapa suatu usaha itu bila diupayakan dengan segenap perhatian dan keseriusan akan membuahkan hasil yang cukup menyilaukan. Maka wajar jika Aceh saat itu menjadi batu sandungan bagi imperium Barat yang berusaha mencengkeram seluruh wilayah Nusantara secara utuh ; baik itu Belanda, Inggns maupun Portugis.
Sungguh sangat disayangkan, diakhir masa jabatannya, ketetapan sistem yang pernah ia berlakukan terhadap pedagang-pedagang asing (dalam hal ini Belanda) itu terpaksa menjadi longgar karena kekalahan yang didentanya ketika mengadakan serangan ke Malaka pada tahun 1629 akibatnya ia menjalin hubungan dengan Belanda sebagai mitra kerja menghadapi Portugis di Malaka.
Masa Kemunduran
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia pada tahun 1636 ia digantikan seorang menantunya, Sultan Iskandar Tsani yang memerintah selama kurang lebih 5 tahun yaitu sejak 1636-1641.
Sultan Aceh pengganti Sultan Iskandar Muda ini mempunyai sikap yang berbeda sama sekali dengan sultan sebelumnya dalam menanggapi kaum Kolonialis. Ia sangat lunak dan kompromistis, baik terhadap Belanda, Inggris ataupun Portugis. Ini berbeda dengan sikap Sultan Iskandar Muda vang begitu ketat terhadap orang asing.
Semenjak Aceh di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, tandatanda kemunduran mulai tampak. Hal ini disebabkan oleh adanya campur tangan orang asing yang mendapat kesempatan dari sultan secara longgar.
Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah wafat tahun 1675 dan digantikan oleh sultan wanita Nurul Alam Nakiatuddin yang memerintah mulai tahun 1675-1678. Kehadirannya tak juga bisa mengentaskan kerajaan dari berbagai kemelut yang ada. Begitu pula ketika digantikan oleh puterinya Raja Sertia, Aceh tetap dirundung kemelut yang berkepanjangan. Baru setelah ulama-ulama dan tokoh masvarakat Aceh melancarkan perlawanan terhadap kompeni pada tahun 1873-1904, seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar dan ïsterinya, Tgk. Cik Di Tiro. Panglima Polem dan lain-lain, Aceh naik lagi kharismanya.
¹ M. Yahva. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia, Yogyakarta, 1986, hal. 6. Menurut Sartono kartodirdjo berdirinya Aceh tahun 1514.
Ada dua faktor penting yang mengakibatkan kemunduran kerajaan Aceh Darussalam: masing-masing faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern, yang pertama diakibatkan oleh lemahnya sultan-sultan pengganti Sultan Iskandar Muda
dalam mengendalikan jalannya pemerintahan, yang menjadi sebab lepasnya daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Aceh dan berusaha berdiri sendiri-sendin sehingga lebih memudahkan pihak luar untuk memecah belah persatuan.
Kedua, banyaknya kaum kapitalis dalam negeri yang tidak pedulikan lagi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh kerajaan terutama di bidang ekonomi akibat dan sistem perekonomian yang diterapkan kaum kolonial. Kenyataan ini kemudian menyeret Aceh mengambil sikap kompromi dengan Kompeni.
dalam mengendalikan jalannya pemerintahan, yang menjadi sebab lepasnya daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Aceh dan berusaha berdiri sendiri-sendin sehingga lebih memudahkan pihak luar untuk memecah belah persatuan.
Faktor ekstern, adanya campur tangan orang-orang Asing ; baik secara langsung atau tidak langsung. Kenyataan ini berawal dari kegagalan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka pada masa akhir pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagi akibatnya ia terpaksa memberi kelonggaran kepada Belanda untuk berdagang di wilayah Aceh karena telah membantunya dalam pen\ erangan Malaka. Campur tangan ini berlanjut terus tanpa bisa ditolaknya oleh pewaris-pewaris tahta berikutnya sampai pada akhirnya Aceh minta perlindungan kepada Kompeni.
Selengkapnya silahkan download file PDF buku KERAJAAN ISLAM NUSANTARA Abad XVI & XVII dibawah ini.
² Saitono Kartodirdjo. Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Sasional Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.k.. 1975. hal. 316.
³ Ibid., hal. 317.
⁴ Ibid., hal. 318.
⁵ Ibid., hal. 345.
⁴ Ibid., hal. 318.
⁵ Ibid., hal. 345.
⁶ Ibid., hal. 250.
⁷ Ibid., hal. 258.
⁸ Harun, Op.cit., hal 7-8.
0 Response to "Kerajaan Aceh Darussalam"
Post a Comment
Komentarlah dengan bahasa yang baik :
1. No SARA
2. No SPAM