Ini Bukan Kartini
Setelah sedikit banyak membaca buku karya A. Hasjmy dalam judul "59 Tahun Aceh Merdeka dibawah Pemerintahan Ratu". Admin mencoba menulis ulang beberapa poin tentang pemerintahan ratu dalam pemerintahan Aceh.
Sejak dari Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam Samudra/Pase sampai kepada Kerajaan Aceh Darussalam, Islam telah diambil menjadi dasar negara, dan sumber hukumnya, yaitu AlQuran, Sunnah, ljmak dan Qiyas.
Dalam Adat Meukula Alam. (Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam) tersebut :
Qanun Meukuta Alam Al Asyi, yaitu :
- Al Qur-an
- Al Hadis
- Ijmak Ulama Ahlus Sunnah
- Al Qiyas[1]
Karena Islam telah diambil menjadi Dasar Negara dan Al Quran serta Sunnah telah dinyatakan sebagai sumber hukum, maka kedudukan wanita dalam Kerajaan Aceh Darussalam, disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan AlQuran dan Sunnah.
Al Quran telah menegaskan, bahwa manusia diciptakan dari sumber yang satu, yaitu dari Adam, baik pria ataupun wanita, baik yang berkulit putih ataupun yang berkulit hitam. Karena itu, kedudukan pria dengan wanita sama ; manusia sama derajat dalam pandangan Allah SWT :
-- Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (Adam), dan daripadanya Allah menciptakan istrinya ; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan (silaturrahim). Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. {Q.S. An Nisa : I)
Menurut pandangan Islam, bahwa hak dan kewajiban pria dengan wanita sama dalam masyarakat bangsa dan dalam masyarakat dunia. Kalaupun ada berlebih dan berkurang, semata-mata terletak pada nilai takwanya :
-- Wahai ummat manusia ! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu terdiri dari pria dan wanita, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berkabilah-kabilah agar saling-kenal satu sama lain. Sesunguhnya orang yang paling terhormat diantara kamu di sisi Allah, yaitu orang yang paling tinggi nilai takwa-nya {Q.S. Al Hujurat : 13)
Perintah menyembah Allah SWT diiringi dengan perintah berbuat bakti kepada ayah-bunda. Pembuktian anak kepada ayah (pria) dan bunda (wanita) sama derajatnya :
-- Hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu. Dan hendaklah kamu berbuat bakti kepada ayah-ibumu. (Q.S. An Nisa: 36)
-- Orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal-salih, baik pria ataupun wanita; mereka akan masuk surga, dan sedikitpun mereka tidak dianiaya. (Q.S. An Nisa : 124)
Mengenai hak wanita untuk memegang jabatan-jabatan dalam negara, dinyatakan boleh asal mereka sanggup dan mempunyai pengetahuan untuk bidang-bidang jabatan yang akan dipegangnya; sama seperti hak pria dalam hal tersebut.
Dalam sebuah kitab yang bernama “Safinatul Hukkam” ditegaskan bahwa wanita boleh menjadi raja atau sulthan, asal memiliki syarat kecakapan dan ilmu pengetahuan. [2]
Karena itu adalah suatu hal yang logis kalau sejarah telah mencatat sejumlah nama wanita yang telah memainkan peranan yang amat penting di Tanah Aceh, sejak zaman Kerajaan Islam Perlak samapi Kerajaan Aceh Darussalam, seperti tertulis dalam buku “Risalah Akhlak”, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang pada awal tahun 1976.
Nama-nama tersebut yaitu :
1. Puteri Lindung Bulan
Anak bungsu dari Raja Muda Sedia yang memerintah Kerajaan Islam Benua/Teuming dalam tahun 753-800 H. (1333-1398 M).
2. Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu
Menjadi raja terakhir dari Kerajaan Islam Samudra/Pase, yang memerintah dalam tahun 801-831 H. (1400-1428 M).
3. Laksamana Malahayati
Seorang janda muda yang menjadi Panglima dari Armada lnongbale (Armada Wanita -janda), yang dibangun oleh Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil, yang memerintah dalam tahun 997- 1011 H. (1589-1604 M).
4. Ratu Safiatuddin
Memerintah Aceh dalam tahun 1050-1086 H. (l64l-1675 M.).
5. Ratu Naqiatuddin
Memerintah Aceh dalam tahun l086-1088 H. (l675-l678 M.).
6. Ratu Zakiatuddin
Memerintah Aceh dalam tahun 1088-1098 H (l678-l688 M.)
7. Ratu Kamalat
Memerintah Aceh dalam tahun 1098-l109 H. (1688-l699 M.).
8. Cut Nyak Dhien
Setelah suaminya Teuku Umar Syahid dia mengoper pimpinan perang. Dalam keadaan telah buta, Cutnyak Dhin ditawan dan dibuang ke Jawa.
9. Teungku Fakinah
Seorang wanita-Ulama yang menjadi pahlawan; memimpin sebuah resimen dalam Perang Aceh, dan setelah usai perang, Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam yang bemama Dayah Lam Diran.
10. Cut Meutia
Seorang pahlawan wanita yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam hutan-hutan Pase, yang kemudian syahid, karena telah bersumpah tidak akan mau menyerah hidup kepada Belanda.
11. Pocut Baren
Seorang pahlawan wanita bertahun-tahun memimpin perang terhadap Belanda (1898-1906), sehingga beliau tertawan dalam mempertahankan bentengnya setelah luka parah (1906).
12. Pocut Meurah Intan
Srikandi yang juga bemama Pocut Biheu, bersama putera-puteranya, Tuwanku Muhammad, Tuwanku Budiman dan Tuwanku Nurdin, berperang tanpa kenal menyerah bertahun-tahun untuk menghadapi tentara Belanda, dan dalam keadaan luka parah ia dapat ditawan dalam tahun 1904, demikian pula Puteranya Tuwanku Nurdin, sedangkan puteranya Tuwanku Muhammad telah syahid dalam tahun 1902.
13. Cutpo Fatimah
Seorang pahlawan wanita yang menjadi teman seperjuangan Cut Meutia, puteri dari seorang ulama besar, Tengku Khatim atau Teungku Chik Mata Ie. Cutpo Fatimah bersama suaminya, Teungku Di barat, melanjutkan perang setelah Cut Mutia dan suami- nya syahid, sehingga dalam pertempuran pada tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan Suaminya syahid bertindih badan.
0 Response to "Ini Bukan Kartini"
Post a Comment
Komentarlah dengan bahasa yang baik :
1. No SARA
2. No SPAM